Tahu ga kalo kuliah itu nggak beda jauh kayak perjalanan traveling yg sering kita lakukan. Kita membutuhkan nggak cuma dana, akan tetapi juga kendaraan serta arah yg tepat buat sampai ke daerah tujuan dengan selamat.
Nyatanya, hal tadi jua berlaku di dunia kuliah. Untuk sampai ke daerah tujuan, which is adalah kelulusan dan dunia kerja, kita butuh banget jurusan dan arah yang tepat untuk melewatinya. Ya, dengan jurusan serta arah yang sempurna, diharapkan kita selamat sampai pada tujuan dengan waktu serta dana yg telah dipersiapkan jua.
Namun masalahnya, nggak semua hal yang sudah kita persiapkan ternyata sesuai harapan. Di tengah atau bahkan di awal perjalanan, ada aja kendalanya. Adrian, nih, contohnya.
“Dari sekolah gue emang seni banget, suka nge-design sama gambar. Nah, pas lulus, rencananya gue mau lanjut ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Intinya gue mau pilih jurusan yang sesuai passion gue. Tapi kenyataan berkata lain. Akhirnya, gue ambil Jurusan Akuntansi, deh,” ujar pemilik nama lengkap Adrian Indra.
Nggak Dapat Restu Orangtua, Sampai Nggak Pede
Adrian bilang, katanya, sih, dia terpaksa ambil jurusan yang akrab dengan angka dan hitung-hitungan. Alasannya, salah satu warga Fakultas Ekonomi STIE Yogyakarta ini mengaku kalau dia nggak mendapatkan restu orangtua. Serius?
“Iya, orang tua gue nggak setuju banget sama orientasi yang dari awal gue pilih. Pas gue tanya kenapa, katanya, sih, salah satu alasan orangtua ngelarang karena jurusan tersebut punya prospek kerja yang nggak menjanjikan,” repet alumni SMAN 11 Yogyakarta.
Adrian nggak sendirian. Megi Oklani Timban, alumni Universitas Multimedia Nusantara (UMN), mengaku sempat salah jurusan terkait dunia perkuliahan. Alasannya, sih, nggak jauh-jauh dari kata terpaksa. Duh!
Senada dengan yang dikatakan Adrian dan Megi. Arif Nur Ikhsan juga mengalami hal yang serupa. Bedanya, bukan karena paksaan orangtua atau ikut-ikutan teman, dia mengaku salah jurusan lantaran nggak pede dengan kesempatan. Maksudnya?
“Jadi gini, gue, tuh, udah pesimis mau daftar kedokteran umum Universitas Gadjah Mada (UGM), gue ngerasa nggak bakal tembus gitu. Makanya, gue pilih Farmasi dengan harapan peluangnya jauh lebih besar. Nah, lucunya, ada teman yang nasibnya sama kayak gue, eh, dia malah keterima di Fakultas Kedokteran,” keluh mahasiswa Jurusan Farmasi UGM Yogyakarta angkatan 2014.
Do Something!
Lantaran kuliah dengan setengah hati, Adrian harus mendapatkan konsekuensinya. Nggak cuma mempengaruhi niatnya dalam mengikuti proses perkuliahan, lantaran salah jurusan, Adrian harus merelakan nilainya terjun bebas!
“Waktu itu batin gue berontak. Gue bingung harus gimana dan gue sempat cekcok gitu, adu pendapat sambil ngotot sama bokap nyokap. Nah, efeknya jelas berantai. Gue jadi males-malesan kuliah, suka cabut nggak jelas, dan biasa titip absen. Nilai gue sempat anjlok, beberapa mata kuliah ada yang nilainya C,” repet Adrian.
Well, nggak salah kalau Adrian jadi super galau. Meski terkesan sepele, nyatanya itu akan berimbas pada hasil belajar kita selama kuliah nanti. Makanya, biar tetap survive, kita harus melakukan sesuatu.
Untuk Adrian, suka nggak suka dia harus melakukan proses adaptasi yang lama dan terkesan berat. Meski begitu, perlahan tapi pasti, kondisi kritis yang dialami Adrian mulai membaik.
“Nilai gue yang jelek akhirnya gue jadikan motivasi walaupun berat. Untungnya, belakangan ini gue sedikit tobat dan IPK aman di atas tiga,” lanjut Adrian.
Lain orang, lain lagi perlakuannya. Megi contohnya. Sadar kalau hal tersebut akan menghambat laju perkembangan proses perkuliahannya, cewek asli Manado ini lantas banting stir. Yap, setelah menyelesaikan satu semester ‘penuh tekanan dan paksaan’, dia lantas memilih jalur dan kendaraan yang tepat, untuk mengantarkannya ke tempat tujuan.
“Ya, walaupun agak telat, akhirnyague pindah jurusan sesuai passion gue. Soalnya, kalau tetap stay di jurusan yang lama, nggak cuma bikin kita jadi susah belajar, nantinya kita juga akan menemui kesulitan di dunia kerja,” imbuh cewek yang pindah ke jurusan Komunikasi ini.
Lebih lanjut, Megi menambahkan bahwa dengan pindah ke jurusan sesuai passion, resiko tetap selalu ada. yang jelas, kita harus belajar dari awal lagi dan merelakan waktu kuliah jadi sedikit lebih lama.
“Intinya, jangan terpengaruh pihak luar, termasuk orangtua sekalipun. Soalnya, yang jalanin kuliah dan nentuin masa depan juga kita. Jadi, pilih aja kuliah sesuai passion kita. Hasilnya jelas. Kalau melakukan sesuatu yang kita suka, meski kerjaan itu berat, kita akan enjoy ngelakuinnya, kok,” pesan Megi.
Well, kayak yang dibilang Megi, masa depan ada di tangan kita. Meminta pendapat dan saran, sih, sah-sah aja hukumnya. Tapi, kalau nggak sreg, ya nggak perlu dipaksakan. Resikonya ya itu tadi. Adrian dan Arif bisa jadi contohnya. Selama kita mau menanggung semua resiko dan konsekuensinya, jalanin aja semua suka dan dukanya. Berani?