Sejak beberapa pekan terakhir si bungsu ku hampir selalu dalam satu di antara dua keadaan: marah-marah ataupun tidur. Dari bangun pagi sudah marah, makan banyak marah, sedikit juga marah, cepat mengantuk, marah lagi, cepat ketiduran dimana saja. Satu-satunya yang ia sukai adalah menggambar kartun dan baca kartun di webtoon, berkhayal jadi pembuat kartun yang punya ribuan karya.
Dulu kakaknya juga sempat mengalami masa seperti itu, merusak barang-barang, suka banting-banting pintu, meletusin balon yoga tantenya, dan lain-lain. Kira-kira ketika mereka umur 10 sampai 13 tahun. Tapi setelah masa itu berlalu, dia jadi gadis yang calm lagi. Pengalaman ini membuat aku jadi belajar lagi menjadi parent of teenagers. Ternyata jadi ortu tak boleh berhenti belajar ya?
Menurut beberapa jurnal ilmiah, ada beberapa sebab mengapa remaja sering marah:
- 1. Perjalanan menuju kemandirian.
Selama masa remaja mereka tumbuh menjadi semakin mandiri namun jika diperlakukan seperti anak mereka melihat semua pihak sebagai “penjajah”. Template kata2nya: “aku bukan anak kecil lagi!” Dan “ga ada yang sayang aku”.
Mereka juga mencoba berbagai jati diri, dari yang pendiam, periang, lucu gaya K-Pop, misterius ala Japanese anime, dan lain-lain. Mencoba berbagai ekspresi. Tapi seringnya gagal karena tidak cocok dengan diri dan usia mereka. Terlalu dewasa atau terlalu kanak-kanak, atau jadi aneh dan ditolak teman-teman. Pendapat terpenting datang dari teman, bukan keluarga. Wajar jika semua ‘percobaan gagal’ itu sering membuat mereka marah.
- 2. Kebingungan peran sosial.
Mereka marah karena ortu mulai menuntut mereka agar bertanggung jawab atas perbuatannya, tapi mereka belum terbiasa diperlakukan sebagai orang dewasa. Kalau merusak barang maunya dimaafkan saja (seperti anak kecil) tidak bersedia dipotong uang jajan. Tapi giliran menggunakan gadget, ingin diperlakukan seperti orang dewasa. Badan sudah besar, sudah puber, tapi apa-apa masih harus tanya mama papa, minta uang pada ortu. Akhirnya kekesalan bermanifestasi sebagai pembangkangan, hak mau ini itu, merasa bahwa ‘penolakan’ adalah cara terbaik mendapatkan ‘kekuatan’.
- 3. Pubertas, perubahan hormonal dan pertumbuhan yang cepat .
Pada usia 10 atau 11 tahun hormon pubertas (estrogen, progesteron, testosteron) tidak hanya mengubah bentuk tubuh tapi juga otak manusia. Otak memakai 20% dari keseluruhan volume darah, sehingga otak terpengaruh oleh hormon-hormon yang beredar, jadi semakin sensitif terhadap hormon pertumbuhan. Perubahan di otak menjadikan remaja lebih sulit mengendalikan kemarahan dan kesedihan yang muncul, sering over-reacted. Sel-sel otak juga ada yang mengalami kematian dan digantikan oleh sel-sel yang baru, mungkin hal ini yang menjadikan remaja seolah menjadi ‘pribadi baru’.
Perubahan bentuk tubuh (akibat tanda seksual sekunder muncul) juga membuat mereka merasa terlalu kerempeng, gemuk, tinggi, pendek, dibanding teman-temannya. Imej diri dibanding-bandingkan dengan bintang film, sehingga merasa jauh dari ideal. Ujung-ujungnya kesal dan marah.
- 4. Dibully teman.
Masalah terbesar sebagian dari remaja adalah dibully, dipanggil dengan nama yang tidak ia sukai (si endut, tiang listrik, tripleks, dsb), dirobek dan dicoreti buku-bukunya, disembunyikan tasnya, dibiarkan sendiri dan didiamkan, ah…banyak hal lagi. Menjadi remaja di zaman ini lebih sulit daripada zaman kita remaja dahulu. Pendapat teman dan guru adalah segalanya bagi dia, tapi jika pendapat yang ia dengar lebih banyak hal negatif daripada positif, kemarahan mendominasi dirinya.
- 5. Remaja tidak tahu cara membuat dirinya bahagia.
Selama ini ide tentang bagaimana membuat dirinya bahagia ditentukan oleh ortu, sahabat ataupun tokoh idola mereka. Ide-ide dan cara-cara untuk bahagia itu terkadang bertolak belakang. Ada yang bilang dengan fashion mereka akan tampil unik dan dikenal. Terkenal adalah cara untuk bahagia. Tapi ortu bilang cara bahagia adalah menjadi juara kelas. Idolanya mengatakan bahagia itu dengan mendengar dan menghafalkan lagu-lagu bahasa asing. Mungkin remaja kita kesal dan marah karena belum menemukan hal apa yang dapat membuatnya bahagia. Bantu dia.
Terus, bagaimana menyikapi nya? Saya temukan 3 tips berikut, mudah-mudahan bermanfaat:
- 1. Ajak dia memahami perubahan-perubahan pada dirinya, supaya ia lebih aware sekaligus paham bahwa ortunya juga berusaha memahami perjalanan menuju kedewasaan ini.
- 2. Berikan feedback/umpan balik. Jika ia marah, kita beri feedback negatif, tapi jika ia tampak mampu mengendalikan kemarahannya, jangan ragu memberi pujian alias feedback positif.
- 3. Gunakan senjata belajar, sabar dan doa. Ada banyak ortu lain yang juga sedang struggling menghadapi remaja mereka, atau sudah pernah melaluinya. Ada banyak buku yang membahas hal ini. Teruslah belajar, lalu gunakan ilmu itu dengan penuh konsistensi, disiplin, dan jangan lupa, setelah upaya manusiawi harian maksimal kita jalankan, panjatkan doa pada ‘pemilik’ anak kita: Allah SWT.
Wahai Yang Maha membolak-balikan hati, tuntunlah kami dan keturunan kami. Sungguh Engkau Sebaik-baik Pembimbing
Sumber