Mereka yang belum menikah sering melihat pernikahan dari dua sisi yang sama-sama ekstrem. Sisi pertama hanya melihat pernikahan dari kebahagiaan antara dua pasangan tanpa mau melirik apalagi memperhatikan ujian yang selalu disertakan dalam rumah tangga mana pun.
Sisi sebelahnya hanya melihat pernikahan dari segi penderitaan berat yang sudah pasti dan mustahil dihilangkan sebagaimana kehidupan itu sendiri.
Alhasil, pemuda-pemudi yang seperti ini akan senantiasa berada dalam imajinasi pernikahan. Padahal, menikah bukan hanya tentang imajinasi melainkan juga soal menghadapi dan membangun realita kehidupan.
Seorang wanita cenderung menolak lamaran laki-laki yang belum mapan. Alasannya sangat klasik, “Siapa yang mau hidup susah?”
Akhirnya, ia menunda menikah karena yang mapan tak kunjung hadir. Jika ada yang mapan dan datang melamar, wanita ini kembali menolak karena enggan dijadikan yang kedua.
Seorang laki-laki memiliki alasan yang sangat menipu saat hendak mengirimkan lamaran. Dia berdalih filosofis dengan mengatakan, “Saya mencari wanita yang mau diajak hidup susah.”
Lah, memang ada manusia normal yang mau hidup susah?Kepada dua golongan laki-laki dan wanita ekstrem ini, hendaklah bergegas mengambil langkah. Pernikahan, sebagaimana layaknya kehidupan, adalah gabungan antara mimpi dan realitas, harapan dan kenyataan, bahagia dan duka, tangis dan tawa, sedih dan cita.
Dengan meluruskan niat, ujian dalam pernikahan akan dihadapi dengan kesabaran. Dan kenikmatan serta berbagai jenis kebahagiaan lainnya dijadikan sarana untuk menjadi hamba-hamba yang bersyukur.
Terkait kesukaran hidup yang pasti dihadapi, jangan pernah takut sedikit pun. Dengan ujian sukar, rumit, pelik, dan paceklik itu, cinta antara seorang suami dan istrinya akan kian bertambah jika iman ada di dalam hati keduanya.
“Salah satu prinsip dalam kajian psikologis,” tulis Dr. Jamal Elzaky, “menyebutkan bahwa rasa sayang dan simpati akan muncul setelah seseorang merasakan sakit dan penderitaan.”
Maka menikahlah dengan pasangan yang satu tujuan, menggapai ridha Allah Ta’ala. Bersungguh-sungguhlah untuk saling mendukung saat susah dan mengingatkan ketika bahagia.
Kehidupan rumah tangga yang seperti ini tak ubahnya puasa. Haus dan lapar sepanjang siang nan menyengat tak lagi terasa setelah adzan Maghrib menyapa, apalagi jika membayangkan surga.