Di banyak daerah di Indonesia sering sekali ditemui jalan umum seperti jalan nasional dan jalan provinsi ditutup sebagian untuk tempat resepsi perkawinan atau takziah kematian. Barangkali anda pernah melihat kejadian serupa?
Parahnya, sebagian besar diantaranya yang pernah ditemui, tidak ada membuat plang pernyataan maaf atas gangguan fasilitas umum (fasum) dan rambu pengalihan jalur lalu lintas. Yang lebih berbahaya, terutama selepas tikungan, tidak ada tanda berupa pemberitahuan jika ada penutupan jalan, sehingga selepas tikungan tiba-tiba berhadapan dengan jalan yang ditutupi palang, kayu, drum bekas, atau ban bekas.
Perayaan pernikahan kerap sekali di gelar di rumah sang mempelai perempuan. Keputusan itu biasanya dilakukan agar tetangga sekitar dapat dengan mudah menjangkau lokasi pernikahan.
Meski begitu, beberapa ulama menyarankan, resepsi pernikahan tidak digelar di jalan. Ustaz Ahmad Sarwat dari Rumah Fiqih mengatakan ada larangan tegas dalam syariah untuk menghalangi orang yang lewat.
" Jangankan menghalangi, kalau saja di jalan ada aral melintang atau ada onak dan duri, kita wajib membuangnya, agar orang yang lewat tidak celaka," tulis Ahmad.
" Membuang duri dari jalan itu merupakan salah satu cerminan keimanan kita kepada Allah SWT," tulis Ahmad menambahkan.
Ahmad mengatakan jika melihat di masa lalu, menggelar hajatan di jalan masih dapat dimengerti. Sebab, di masa lalu, jalan di Jakarta, misalnya, masih lengang.
" Tidak padat seperti sekarang ini. Jadi kalau ada tetangga yang sedang punya hajatan, kita ikut bergembira dan semua anggota masyarakat serta tetangga kanan kini ikut membantu dan berkorban," ucap Ahmad.
" Salah satu pengorbanannya adalah merelakan jalan di kampung kita ditutup sementara, termasuk rela cari jalan berputar yang agak jauh demi sebuah hajatan tetangga," kata dia.
" Salah satu pengorbanannya adalah merelakan jalan di kampung kita ditutup sementara, termasuk rela cari jalan berputar yang agak jauh demi sebuah hajatan tetangga," kata dia.
Jangankan menghalangi, kalau saja di jalan ada aral melintang atau ada onak dan duri, kita wajib membuangnya, agar orang yang lewat tidak celaka. Dan membuang duri dari jalan itu merupakan salah satu cerminan keimanan
Hajatan Sekedar Tradisi, Malah Cuma Sekedar Gengsi
Kalau kita pindahkan arah pembahasan kepada pertanyaan : kenapa kita harus menggelar hajatan, kadang-kadang kurang masuk akal juga. Yang jelas, walau pun syariah Islam menganjurkan seseorang menyelenggarakan walimah pernikahan, tetapi kalau judulnya pakai menutup jalan segala, sehingga orang-orang yang lewat jadi terhalang, tentu sudah tidak lagi prporsional. Apalagi bila posisi jalan itu jalan penting dan utama, dimana orang akan kesulitan sekali kalau sampai ditutup, maka hukumnya malah jadi haram.
Selain walimah pernikahan, sebenarnya kalau cuma hajatan ulang tahun, atau khitanan anak, tidak ada keharusan untuk merayakan, apalagi sampai menutup jalan, memasang panggung hiburan di tengah jalan dan seterusnya. Semua itu kalau ada, jelas-jelas tidak berasal dari ajaran Islam. Tetapi lebih merupakan tradisi saja, yang saya sendiri agak bingung kalau harus menelusuri asal-usulnya.
Dan berdasarkan pengalaman ngobrol-ngobrol dengan para penyelenggara hajatan, ternyata banyak di antara mereka yang serba salah. Sebab yang namanya hajatan sudah pasti butuh dana besar, tidak semua orang siap membuang-buang dana besar cuma buat sekedar bikin keramaian. Tetapi di sisi lain, ada semacam rasa gengsi atau malah rasa bersalah, kalau sampai menikahkan anak misalnya, tetapi tanpa menyelenggarakan pesta besar yang sampai menutup jalan.
Seolah-olah ukuran sukses tidaknya sebuah hajatan itu diukur ditutup atau tidaknya jalanan di depan rumah. Meski ukuran ini tidak pernah ditetapkan, tetapi nampaknya ‘mazhab’ itulah yang kurang lebih dianut oleh kebanyakan warga kita. Dan ukuran ini sering dijadikan bahan obrolan tentang ukuran kesuksesan sebuah hajatan. Sangat konvensional dan kuno memang, tetapi nampaknya orang-orang suka dan senang sekali.
Pak Haji Dul di samping rumah nampak sumringah sekali seusai menyelenggarakan hajatan anaknya, sebab dia terima laporan bahwa jalanan macet panjang sampai 2 kilometer, karena ada hajatan itu. Itu berarti hajatannya sukses. Naudzubillah min zalik. Jadi ukuran suksesnya adalah kesusahan orang lain.
Kalau paradigma seperti ini yang masih dianut oleh kebanyak masyarakat kita, tentu butuh proses pergantian generasi untuk membaliknya. Generasi pak Haji Dul bila sudah lewat nanti, lalu digantikan oleh generasi anak dan cucu beliau, yang semoga tidak mewarisi paradigma yang sama, tetapi sudah berubah.
Pengalaman di Jepang
Bicara tentang ketertiban dan ketenangan, saya punya pengalaman menarik ketika memberi ceramah di Jepang pada tahun 2008. Saat itu acara daurah tiga yang digelar di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) sedang break untuk tidur malam. Sebagian dari peserta yang datang dari kota-kota lain di Jepang pada duduk-duduk mengobrol di halaman, sambil santai.
Tiba-tiba datang petugas polisi bersepeda, memberi teguran yang asalnya laporan pengaduan dari tetangga sekitar. Rupanya ada warga sekitar SRIT yang merasa terganggu mendengar ada suara orang ngobrol di luar. Padahal mereka yang ngobrol itu bukan ngobrol di jalan, tetapi masih di dalam halaman sendiri. Karuan saja pimpinan SRIT meminta para peserta yang sedang ngobrol di luar itu untuk masuk ke dalam gedung.
Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa tertibnya orang Jepang ini. Padahal mereka tidak beragama Islam, bahkan tidak pernah baca Al-Quran atau Sunnah. Cuma dalam urusan menghormati hak-hak publik, kayaknya mereka jauh lebih paham.