Di dalam hidup ini, kita selalu mempunyai orang-orang yang dicintai. Kita mengasihi pasangan kita, famili kita, serta sahabat-sahabat kita. Sedemikian tinggi kecintaan itu hingga bila suatu ketika,saat mereka meninggalkan, terasa kesedihan yg mendalam.
Demikian jua halnya dengan kebencian. biasanya kita juga mempunyai orang-orang yang dibenci baik karena kelakuannya, hubungan yang tidak baik di masa kemudian, juga karena aneka macam hal lainnya. Terkadang sedemikian akbar kebencian tadi sehingga seseorang merasa senang Bila orang yang dibencinya menerima musibah.
Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekadarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia akan menjadi orang yang kaucintai. Ali bin Abi Thalib.
Sesuai dengan ucapan Ali di atas, ia mengajarkan untuk bersikap di tengah-tengah ketika mencintai maupun membenci. Boleh jadi kita mencintai seseorang namun suatu saat berbalik arah menjadi benci. Atau sebaliknya membenci seseorang yang suatu saat kita cintai. Manusia boleh bercita-cita, tapi tetap masa depan adalah sesuatu yang ghaib dari pengetahuannya.
Berbicara dalam konteks yang lebih luas, mencintai dan membenci ini akan berlaku pula untuk banyak hal lain dalam kehidupan. Kita mencintai harta yang susah payah dikumpulkan, kita mencintai kendaraan yang dibanggakan, kita juga mencintai anak-anak sebagai penerus keturunan. Bagaimana jika suatu saat apa-apa yang kita cintai diambil kembali oleh Sang Pemilik? Akankah kita berduka karenanya atau tetap tersenyum dan melepas dengan penuh kerelaan?
Manusia tidak pernah tahu apa yang terbaik bagi dirinya sebelum Allah membukakan rahasia tersebut bagi pribadi masing-masing orang. Seringkali kita merasa sesuatu itu baik padahal mungkin buruk. Dan sebaliknya kita merasa sesuatu itu buruk padahal sebenarnya baik buat diri kita. Baik dan buruk seringkali diukur oleh syahwat dan hawa nafsu kita. Apa yang kita anggap baik karena menyenangkan dan apa yang kita anggap buruk karena menyulitkan.
Baik dan buruk seringkali diukur oleh syahwat dan hawa nafsu kita. Apa yang kita anggap baik karena menyenangkan dan apa yang kita anggap buruk karena menyulitkan.
Disinilah agama mengajarkan untuk mengambil sikap yang ditengah-tengah. Kita mencintai sesuatu karena mungkin belum mengetahui keburukan di dalamnya. Dan kita membenci sesuatu karena mungkin belum mengetahui kebaikan di dalamnya.
Jika ditelusuri lebih jauh, apa yang dihadirkan pada diri seseorang, baik dan buruk, suka dan duka, cinta dan benci, sejatinya semua berasal dari sumber yang satu. Semuanya adalah tamu yang Allah hadirkan dalam kehidupan. Jika semua yang hadir adalah tamu-Nya, maka sewajarnya diperlakukan dengan layak dan hormat sebagaimana kita menyambut tamu dalam kehidupan sehari-hari. Buat orang-orang yang tercerahkan, sesuatu yang menyenangkan maupun sesuatu yang tidak menyenangkan pada dasarnya sama saja. Hal tersebut tidak akan membuat mereka terlalu bersukaria ataupun terlalu berduka atas kedatangan maupun kepergiannya.
Karenanya, jika menghadapi hari-hari yang tidak enak, situasi yang membuat jengkel, sikap orang yang tidak pada tempatnya, jangan buru-buru menyalahkan siapa-siapa. Sebab boleh jadi itu adalah “tamu” yang harus diterima dan dilayani. Demikian pula jika menjalani hari-hari yang nyaman, kemudahan demi kemudahan, jangan pula cepat terlena. Sebab boleh jadi itu juga “tamu” yang datang untuk menguji.
Semoga Allah mengajarkan kita untuk mencintai dan membenci sesuatu dengan tepat.