Sebagian besar bangunan masjid di Indonesia memiliki tiang di ruang sholatnya. Tiang tersebut digunakan untuk menopang atap, mengingat tidak ada dinding di bagian dalam masjid.
Seringkali kita melihat orang sholat berjemaah pada shaf di antara tiang-tiang masjid. Orang yang berada di dekat tiang terpisah dari jemaah lain, padahal ada ketentuan shaf harus tersambung ketika sholat jemaah.
Lantas, bagaimana seharusnya posisi sholat yang tepat? Katanya shalat diantara dua tiang dilarang, itu apa maksudnya?
Diantara yang sangat ditekankan dalam islam adalah menyambung shaf dalam shalat jamaah. Hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan janji baik bagi mereka yang menyambung shaf, dan sekaligus janji buruk bagi mereka yang memutus shaf.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Siapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutus shaf, Allah Ta’ala akan memutusnya.” (HR. Nasai 827 dan dishahihkan al-Albani)
Karena itulah, beliau menghindari keadaan yang menyebabkan shaf jamaah menjadi terputus. Diantaranya, beliau melarang makmum untuk shalat diantara tiang. Karena keberadaan tiang akan menyebabkan shaf shalat terputus. Dari Muawiyah bin Qurrah dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا
“Dulu, pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami dilarang membuat shaf di antara tiang-tiang, dan kami jauhi tiang-tiang itu.” (HR. Ibnu Hibban 2219 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Dalam riwayat lain, dari Abdul Hamid bin Mahmud – seorang tabi’in – ,
كُنَّا مَعَ أَنَسٍ فَصَلَّيْنَا مَعَ أَمِيرٍ مِنْ الْأُمَرَاءِ فَدَفَعُونَا حَتَّى قُمْنَا وَصَلَّيْنَا بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَجَعَلَ أَنَسٌ يَتَأَخَّرُ وَقَالَ قَدْ كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kami dahulu bersama Anas bin Malik, lalu kami shalat di belakang seorang gubernur. Lalu mereka (makmum) mendorong kami sehingga kami berdiri dan shalat di antara dua tiang. Anas mulai mundur dan mengatakan,
‘Kami dahulu pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhi ini (shalat jamaah di antara dua tiang)’ (HR. Abu Dawud 673, Turmudzi 229, dan dishahihkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/458).
Apa yang harus dilakukan?
Bagi jamaah yang shafnya terputus tiang, yang dilakukan adalah:
[1] Jika jarak antara dua tiang itu panjang, misal, tiang pertama mendekati ujung kanan shaf dan tiang kedua mendekati ujung kiri shaf, maka jamaah yang di ujung shaf yang terputus tiang, pindah ke belakang.
[2] Jika jarak antar tiang itu pendek, maka semua jamaah mundur ke shaf belakangnya.
[3] Jika masjidnya sempit, sehingga semua bagian masjid harus diisi jamaah, dibolehkan bagi makmum shalat jamaah diantara shaf, karena ada hajat.
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum shalat diantara tiang.
Jawaban beliau,
الصلاة بين السواري جائزة عند الضيق. أما في حال السعة فلا يصلى بين السواري؛ لأنها تقطع الصفوف.
“Sholat diantara tiang hukumnya boleh jika ruangan masjid terbatas. Namun apabila kondisinya luas maka tidak boleh sholat diantara tiang, karena hal tersebut memutus shaf sholat jamaah.” (Fatawa Arkanil Islam hlm. 310).
Hanya berlaku untuk makmum shalat jamaah
Aturan di atas hanya berlaku untuk mereka yang shalat berjamaah. Karena alasan memutus shaf. Sementara mereka yang shalat sendirian atau sebagai imam, boleh shalat dimanapun di dalam masjid.
Demikian, Allahu a’lam.